Maju menggantikan Presiden Soeharto yang lengser pada 20 Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden menghadapi pekerjaan rumah yang besar: Salah satunya adalah keadaan ekonomi yang porak poranda yang berdampak pada hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah.
Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintahan BJ Habibie mengambil beberapa kebijakan penting. Di bidang moneter, dimulai dengan mengendalikan jumlah uang yang beredar, menaikkan suku bunga Sertifikat BI menjadi 70% dan menerapkan bank sentral independen. Di bidang perbankan, diterbitkan obligasi senilai Rp. 650 triliun untuk menalangi perbankan, menutup 38 bank dan mengambil alih tujuh bank. Di bidang fiskal, sejumlah proyek infrastruktur dibatalkan, juga perlakuan khusus bagi mobil nasional, dan membiayai program Jaring Pengaman Sosial. Sedangkan di bidang korporasi, utang swasta direstrukturisasi melalui skema Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta, serta menghentikan praktek monopoli yang selama ini dilakukan Bulog dan Pertamina.
Di tengah gonjang ganjingnya situasi polhukam saat itu, pemerintah harus dengan cepat mengambil keputusan walau berisiko tinggi. "Situasinya unpredictable. Waktu itu, keadaan Indonesia tidak menentu," kenang Habibie. "Bisa plus bisa minus. Risiko tinggi, cost tinggi. Cara berpikir saya itu harus berlaku untuk umum. Dalam hal ini saya mencari approximately (rata-rata)," ujarnya.
Terbukti, gerakan cepat pemerintah saat itu membawa hasil. Satu tahun kemudian, reformasi ekonomi yang diterapkan saat itu memiliki beberapa dampak antara lain jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dari semula Rp. 7.000 menjadi Rp. 17.000. Namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi tampak menunjukkan perbaikan dari yang sebelumnya -13% menjadi 2%, angka inflasi pun sukses diturunkan dari 77,6% menjadi 2%.
Dan setelah itu B.J.HABIBIE menegaskan kebijikan yaitu :
Komentar
Posting Komentar